No comments yet

Hari Sabat

HARI SABAT: FALSAFAH BEKERJA YANG DILUPAKAN

Ev. Kalvin Budiman

Ada beberapa kesalahanpahaman umum tentang hukum hari Sabat yang terus dipraktekkan oleh orang-orang Kristen. Kesalahan pertama adalah memisahkan secara mutlak hari Sabat dari hari-hari di mana mereka bekerja. Akibatnya, walaupun mereka mungkin rajin ke gereja sebagai bentuk mentaati hukum Sabat, tetapi sebenarnya hatinya terus mendua antara untuk pekerjaan dan untuk Tuhan. Kedua, karena pemisahan secara mutlak tersebut, banyak orang Kristen yang sebenarnya tidak terlalu merasakan pentingnya hukum hari Sabat. Bagi kebanyakan kita, hari Sabat hanyalah sekedar waktu untuk beristirahat dan memulihkan tenaga, supaya bisa bekerja lagi dengan baik. Dengan kata lain, fokus mereka sebenarnya tetap pada bekerja, dan Sabat dianggap tidak terlalu penting dibandingkan dengan hari-hari untuk bekerja.

Kalau kita teliti ayat-ayat tentang Sabat dalam Alkitab, maka kita akan menjumpai bahwa Tuhan mengkhususkan hari Sabat bukan dengan maksud untuk memisahkan hari tersebut dari hari-hari lainnya. Perintah tentang hari Sabat dalam Keluaran 20:8 berbunyi, “Ingat dan kuduskanlah hari Sabat. Enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan pekerjaanmu, tetapi hari ke tujuh adalah hari Sabat Tuhan Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan…” Apakah itu berarti perintah ini memisahkan secara mutlak hari Sabat dari hari-hari di mana kita bekerja? Saya rasa bukan begitu. Allah mengkhususkan satu hari tertentu, tetapi bukan memisahkan hari tersebut secara mutlak dari hari-hari lainnya. Ayat ini juga menunjukkan dengan jelas bahwa hari Sabat tidak kalah pentingnya dibandingkan enam hari yang lain, bahkan sebenarnya nilainya melebihi enam hari lainnya. Sabat justru menyingkapkan kepada kita makna dan tujuan bekerja.

Apabila kita membaca bagian-bagian lain di luar Keluaran 20, maka kita akan mendapati bahwa hari Sabat ditetapkan oleh Tuhan jauh sebelum Tuhan memberikan Sepuluh Perintah kepada Musa. Sesudah menciptakan, Tuhan berkata, “Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya, karena pada hari itulah Ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuat-Nya itu” (Kej. 2:3). Benar bahwa Tuhan berhenti dari penciptaan, tetapi Alkitab juga menyatakan bahwa Tuhan tetap bekerja secara aktif dalam dunia ciptaan-Nya (Yoh. 5:17). Tuhan terus bekerja melalui ciptaan-Nya untuk membuat segala sesuatu menjadi indah pada waktunya (Pkh. 3:9-11). Artinya, hari-hari di mana kita harus bekerja, dan juga hari Sabat, semuanya adalah dari, oleh, dan untuk Tuhan. Yang membedakan hari Sabat dari hari-hari lainnya adalah bentuk aktivitasnya, bukan makna (meaning) dan tujuan (purpose) dari aktivitas itu sendiri. Makna dan tujuannya adalah untuk kemuliaan Tuhan. Kita tidak bisa bilang, enam hari buat saya, satu hari buat Tuhan. Itu pemahaman yang tidak tepat. Semua hari adalah dari, oleh dan untuk Tuhan.

Lebih lanjut, dalam Imamat 25:1-22, Tuhan bahkan mengaitkan hukum Sabat dengan perhentian dan pembebasan untuk tanah, ternak dan budak. Tuhan memerintahkan agar pada tahun yang ketujuh harus ada “masa perhentian penuh, suatu sabat bagi Tuhan” (Im. 25:4). Bahkan di tahun Yobel, tahun yang kelima puluh, bangsa Israel tidak boleh menabur dan hanya boleh menuai dari apa yang tumbuh secara liar di ladang (Im. 25:11). Kita mungkin bertanya, bukankah dalam perintah ini Tuhan membuat sebuah pemisahan? Jawabnya juga ‘bukan.’ Tanah, ternak dan budak adalah sumber-sumber utama kehidupan ekonomi bangsa Israel di zaman Perjanjian Lama. Dengan menerapkan hukum Sabat pada pusat kehidupan ekonomi mereka, Tuhan hendak mengajari mereka agar jangan pernah lupa untuk menggantungkan hidup mereka hanya kepada Tuhan. Dengan kata lain, hukum Sabat mengingatkan bangsa Israel tentang peran sentral Tuhan dalam kehidupan ekonomi mereka. Dalam kenyataannya, bangsa Israel sendiri mengabaikan sama sekali perintah ini. Tujuh puluh tahun masa pembuangan, menurut nabi Yeremia, adalah jumlah hutang Sabat yang bangsa Israel harus bayar kepada Tuhan (2 Tawarikh 36:21).

Selanjutnya dalam kitab Injil kita membaca bagaimana Tuhan Yesus menunjukkan kesalahpahaman orang-orang Farisi tentang hukum hari Sabat (lihat a.l. Matius 12:1-15a; Markus 2:23-28; 3:1-6; Lukas 6:1-11). Apabila kita membaca perdebatan tentang hukum hari Sabat antara Yesus dengan orang-orang Farisi, kita melihat bahwa salah satu kesalahan utama orang-orang Farisi adalah membuat hukum Sabat menjadi sebuah konsep perhentian mutlak, yaitu hari perhentian yang terpisah sama sekali dari segala macam kegiatan sehari-hari. Mereka melarang orang melakukan aktivitas apapun juga pada hari itu, bahkan termasuk aktivitas yang sifatnya adalah perbuatan baik. Dalam argumen-Nya, Tuhan Yesus mengingatkan mereka bahwa Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat (Markus 2:28). Artinya, seperti sudah disebutkan di atas, semua hari, baik Sabat atau bukan, adalah dari, oleh dan untuk Tuhan. Tidak ada salahnya seseorang berbuat sesuatu yang baik dan benar dan yang memuliakan Tuhan pada hari Sabat. Tetapi Sabat tetap memiliki makna yang khusus dibandingkan hari-hari lainnya. Itu sebabnya Yesus juga berkata bahwa Sabat dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk Sabat (Markus 2:27). Artinya, hukum Sabat tidak dibuat untuk membebani manusia, tetapi justru demi untuk kebaikan manusia sendiri. Bekerja dan beristirahat adalah dua ritme kehidupan yang saling melengkapi dan terjalin erat.

Dari survei singkat terhadap ayat-ayat di atas, kita dapat menarik beberapa pelajaran penting, khususnya dalam mengaitkan hari Sabat dengan hari-hari lain di mana kita bekerja. Hukum tentang Sabat tidak mengajari kita “dualisme” hari-hari kehidupan kita. Yang membedakan Sabat dari hari-hari lainnya adalah bentuk aktivitasnya, bukan hakekat aktivitas yang kita lakukan. Sabat bukan sebuah hari yang khusus yang sama sekali terpisah maknanya dari hari-hari di mana kita bekerja, tetapi “Sabat” justru harus menjadi bagian inti dari pemahaman kita tentang bekerja. Sabat menolong kita untuk memahami bahwa:

(1) Setiap pekerjaan (yang mulia), apapun bentuknya, adalah bagian dari pekerjaan Tuhan untuk terus berkarya dalam dunia ciptaan-Nya. Hukum Sabat ditetapkan agar kita ingat makna rohani dari setiap pekerjaan yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Kita semua adalah rekan kerja Allah dalam memelihara dan memaksimalkan dunia ciptaan-Nya.

(2) Tujuan akhir dari bekerja bukanlah pada bekerja itu sendiri atau mengumpulkan harta untuk kekayaan diri sendiri, tetapi untuk melakukan hal-hal yang memuliakan nama Tuhan. Bekerja adalah sarana untuk memuliakan Tuhan. Klimaks dari perbuatan memuliakan Tuhan adalah pada hari Sabat di mana kita secara penuh waktu beribadah kepada-Nya. Sama seperti Tuhan membuat segala ciptaan yang begitu indah dan menikmatinya pada hari ketujuh, demikian pula hari Sabat adalah hari untuk kita menikmati waktu khusus bersama dengan Tuhan.

(3) Kehidupan ekonomi kita tidak bergantung pada pekerjaan kita, tetapi pada Tuhan sendiri. Sabat mengingatkan kita dari waktu ke waktu bahwa sumber penghasilan kita adalah dari Tuhan sendiri. Sabat adalah waktu khusus untuk menyucikan hati kita yang berdosa ini dari segala ketamakan.

Post a comment